Tidak heran jika sikap saling menjatuhkan, curang, dan persaingan tidak sehat menjadi fenomena yang tersaji hampir setiap hari. Kolusi, korupsi, pungutan liar, suap, bahkan pembunuhan demi mendapatkan kepuasan materi bukan berita langka yang sulit kita dapatkan.

Rezeki yang diperoleh dengan jalan tersebut (zhalim) tidak akan membawa keberkahan, bahkan menyengsarakan pelakunya. Inilah yang akhirnya membuat penyimpangan atas esensi kerja sehingga tidak memiliki nilai kemuliaan di masyarakat, terlebih di hadapan Allah SWT. Halal atau haram tidak ada bedanya, asal sukses. Sampai ada ungkapan pesimis di masyarakat yang sering terdengar, jangankan halal, yang haram saja susah didapat. Tidak peduli dilarang agama, menghancurkan generasi bangsa atau menimbulkan bencana, asal keuntungan didapatkan.

Jika yang terjadi demikian, jangan harap hasil kerja akan membawa keberkahan dan kebahagiaan. Perasaan selalu kurang, tidak cukup, dan tidak pernah puas bakal selalu menghantui. Mengapa? Karena konsepsi awal bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah tidak lagi menjadi landasannya.

Hidup di dunia haruslah kaya, bukanlah satu-satunya pembenaran yang harus diagungkan. Dalam kenyataannya, ada seorang buruh dengan gaji satu juta, dapat hidup tenang dengan seorang istri dan dua anaknya. Namun, ada juga seorang direktur dengan gaji berjuta-juta, sedangkan hidupnya merana dan selalu merasa kurang. Padahal, puluhan perusahaan, mobil mewah, dan vila-vila di puncak bukit tidak terhitung nilainya.

Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi Allah. Sesungguhnya yang melapangkan dan menyempitkan kehidupan seseorang bukanlah kuantitas, banyak sedikitnya simpanan di bank, jumlah pabrik yang dimiliki, keuntungan bisnis yang berlipat, atau status tinggi yang menaikkan citra sosial. Banyak orang kaya merasa miskin karena selalu tidak pernah cukup. Tidak sedikit pula orang yang hidupnya sederhana merasa cukup dengan keadaannya.

Jadi, niat awal untuk mendapatkan keberkahan dalam urusan rezeki adalah dengan mencari nafkah (bekerja) yang dilandasi oleh semangat mardhatillah (jiwa yang baik), mencari ridha Allah. Kemudian, diwujudkan dengan sikap amanah, jujur, profesional, dan tidak melanggar aturan normatif publik.

Allahu Ghaniyyu, artinya Allah Mahakaya. Dia akan memberi kecukupan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Rezeki bukan sekadar masalah uang, tapi lebih tinggi kedudukannya dari ambisi menggebu untuk mendapatkan materi. Niat ibadah inilah yang akan mengantarkannya menjadi orang yang qanaah (merasa cukup dengan hasil yang diperoleh), lapang dada, puas, dan senantiasa ber syukur dengan nikmat yang diberikan kepadanya. Inilah kekayaan yang sangat berharga sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Orang yang kaya itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tapi orang kaya adalah yang kaya jiwanya.” (HR. Muslim)

Kutipan di atas diambil dari salah satu isi dalam buku 15 Cara Nyata Memperoleh Rezeki Berlimpah.  Buku karya Abdillah Firmanzah Hasan ini dapat menjadi pencerahan bagi jiwa-jiwa yang haus limpahan materi (dunia) tanpa mengabaikan kewajibannya sebagai hamba Allah. Memang, dunia tanpa materi (harta) rasanya hampa. Sebab, materi menjadi bagian pranata (aturan yang mengatur nilai-nilai sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat) kehidupan yang harus diraih. Jika ingin zakat, perlu materi. Ingin pergi haji, perlu ongkos. Ingin menempuh pendidikan, perlu uang, dan sebagainya. Tidak salah jika Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar kita berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan fitnah yang disebabkan oleh kekayaan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan fitnah kemiskinan.” (HR. Bukhari)

Buku terbitan WahyuMedia ini merupakan pegangan bagi siapa saja yang ingin sukses secara finansial tapi berlandaskan kepada tuntunan Al-Qur`an dan hadits. Sebagai muslim, kita harus meyakini bahwa aturan-aturan dalam syariat Islam adalah satu-satunya pedoman hidup yang tidak disangsikan lagi kebenarannya. Allah dan rasul-Nya tidak pernah ingkar dan selalu menepati janji. Tentu saja, niat ikhlas menjadi titik puncak untuk melakukannya. Keikhlasan menjalankan perintah menjadi sebab mendapat balasan kemuliaan, kehormatan, dan keberkahan, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah ridha.