Sebenarnya, Teso dan Nilo memiliki seekor saudara lagi bernama Bilo. Namun, sayang, Bilo mati terserang penyakit yang tidak diketahui. Biasanya, harimau melahirkan 2 sampai 5 ekor anak. Tapi jarang bisa hidup semuanya, karena kehidupan di hutan itu sangat keras. Mereka bisa menjadi santapan harimau lain atau binatang lain seperti ular sanca.

Setiap bangun tidur, Lauser selalu mengaum. Hal itu merupakan salah satu cara untuk menandai wilayah kekuasaannya. Selain mengaum, biasanya harimau menandai wilayah kekuasaannya dengan menggunakan air kencing, kotoran, cakaran, ataupun menggosokkan badan ke batang-batang pohon.

Menjelang sore, Lauser mengajak kedua ekor anaknya untuk berburu mangsa. Namun sayang, saat ini sangatlah sulit bagi Lauser untuk berburu mangsa. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya adalah semakin sempitnya hutan tempat mereka berburu. Hal ini pun menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Teso dan Nilo. Bayangkan saja, untuk 4 sampai 5 ekor harimau dewasa seperti Lauser dan Bohorok, paling tidak membutuhkan 100 Km2 untuk daerah jajahan.

Lantas, bagaimana dengan Teso dan Nilo? Apakah benar mereka adalah harimau-harimau Sumatera terakhir yang ada di Indonesia? Kisah tentang harimau Sumatera ini ditulis Fachruddin M. Mangunjaya & Dolly Priatna dalam buku cerita Harimau-Harimau Terakhir yang diterbitkan oleh WahyuMedia.

Buku ini bukan merupakan buku dongeng semata. Melainkan juga dibuat berdasarkan data-data ilmiah pendukungnya. Misalnya, cara harimau mempertahankan dan melangsungkan hidupnya, cara harimau berburu mangsa, dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan harimau di dalam hutan.

Fachruddin & Dolly merangkum data-data ilmiah tersebut hingga menjadi cerita ilmiah (fiksi sains) yang mendidik dan menghibur. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan permainan interaktif seperti berhitung, menjodohkan, dan mewarnai gambar.